Senja Sederhana di Kedoya
Saat peluh menyusut di ujung hari
langkah melemah di tepi kota
tapi perjalanan harus dimulai kembali
masih jauh rumah bagi jiwa
Berpayung angkasa warna-warni
dan senyummu manis membekas sejak pagi
mengubah lesu jadi cemeti
jauh jarak hanya ilusi
Jakarta, 28 Juni 2006
Thursday, June 29, 2006
Senja Sederhana di Kedoya
Diposting oleh
Dony
di
7:31 AM
3
komentar
Monday, June 19, 2006
Menghormati Peta --Pantauan Piala Dunia
Saat pertandingan pertama tiap grup digelar awal Juni lalu, mayoritas tim unggulan tampil melempem. Kemenangan diraih dengan keunggulan tipis dan proses yang tidak meyakinkan atau hanya imbang karena gagal berkreasi untuk merontokkan pertahanan lawan. Drama yang tidak diharapkan penonton.
Layaknya setiap drama, ada tokoh utama atau protagonis. Dalam Piala Dunia, sang protagonis disandang tim-tim bertradisi sepak bola kuat. Tim-tim dari negara 'guram' diposisikan sebagai antagonis, jauh dari preferensi mayoritas pecinta sepak bola yang selalu mengagungkan superioritas individu bernama besar dan faktor 'sudah tradisi'.
Namun, drama yang baik juga menyuguhkan perubahan karakter pelakon. Menjadi lebih baik atau justru buruk, itu lain soal. Begitu pula dalam perhelatan terbesar sepak bola kali ini. Beberapa protagonis, sayangnya, memulai dengan buruk, sedangkan antagonis main cantik. Kalau tak bijak menyikapi drama yang disuguhkan di Jerman itu, penonton akhirnya malah manyun. Padahal masih ada pertandingan-pertandingan berikutnya, baik masih dalam babak penyisihan grup maupun ronde 16 besar dan kelanjutannya.
Penonton, karena akting melempem para protagonis tersebut, harus melihat lebih dari sekadar sebuah skenario lama bahwa tim besar dengan tradisi kuatlah yang meraih kemenangan. Lebih jauh lagi, harus memahami bahwa proses kreatif di lapangan hijau itu merupakan suguhan peta baru kekuatan sepak bola yang wajib dihormati.
Peta baru itu muncul utamanya karena Eropa, kawasan yang menghegemoni sepak bola dunia melalui industrialisasinya, merekrut pemain-pemain berbakat dari berbagai negara. Tidak hanya dari Afrika, Amerika Utara dan Asia pun menjadi pemasok. Jadilah, negara seperti Pantai Gading dan Togo, yang 'nyaris tak terdengar' dalam konteks sepak bola antarnegara selama ini, dapat tersenyum simpul bila kita baru ngeh bahwa Didier Drogba yang bersinar di Chelsea (Inggris) dan Emmanuel Adebayor di Arsenal (Inggris), sekadar contoh, ada dalam skuad timnas mereka.
Peta memang penting untuk banyak hal. Agar tidak tersesat, tahu posisi, paham garis besar kenyataan, dan menyiasati tujuan. Peta itulah yang mungkin dilupakan penonton saat menyaksikan drama awal putaran final Piala Dunia. Penonton Indonesia tidak terkecuali.
Contoh lain, suka tidak suka, Angola sudah masuk peta elite sepak bola dunia melalui catatan perhelatan Piala Dunia 2006. Tim yang diperkuat bintang muda yang bermain di Benfica (Portugal) Pedro Mantorras itu bahkan menjadi juara grup tahap kualifikasi lalu, menyingkirkan Nigeria dengan selisih gol. Seberapa banyak penonton kita yang tahu luas negara tersebut hampir dua kali luas Pulau Kalimantan?
Peta memang menunjukkan benar lain padang lain ilalang. Membandingkan Indonesia dengan Angola pun menjadi sebuah klise. Namun, kalau dapat menggunakan peta itu dengan baik, kita tidak hanya mampu menghormati pencapaian dan akting Angola di Piala Dunia, tetapi juga tahu posisi dan terpicu untuk menyiasati tujuan.
Semua mafhum, Piala Dunia arena yang sulit. Jangankan menang, meraih hasil seri saja di Piala Dunia tidak mudah. Sebelum itu, bahkan lolos tahap kualifikasi untuk tampil di putaran final pun susah banget. Negara mana yang tidak ingin tampil di Piala Dunia? Semua ngotot. Indonesia yang sudah berusia kepala enam belum sekali pun tampil. Paling-paling yang ada nostalgia ketika republik ini masih dalam embrio bernama Hindia Belanda.
Karena itu, dengan peta, penonton dapat menghormati drama Piala Dunia. Sedangkan insan sepak bola kita bisa memiliki parameter logis, tidak hanya becermin mematut diri hingga diliputi narsisme dan berbagai apologi atas kondisi yang dialami.
Diposting oleh
Dony
di
10:03 AM
1 komentar
Monday, June 05, 2006
SHort STory
TUSUKAN BIDADARI
Saat itu pukul tujuh malam lewat sedikit. Gelap yang melingkupi sekitar ditawarkan dengan uraian sinar-sinar dari lampu-lampu jalanan dan pertokoan. Warung telekomunikasi masih jauh. Beberapa lembar uang ribuan yang sudah disiapkannya dalam kantong ditepuk-tepuknya. Dia tidak punya telepon di rumah. Telepon seluler pun masih dalam angan-angan. Komunikasi jarak jauh yang realistis untuknya ya warung telekomunikasi itu.
Saat melewati sebuah warung rokok, dia berhenti sebentar. Menghampiri. "Bang, teh botol."
Abang penjual yang sedang mendekap radio transistor tua sambil tiduran itu sigap bangkit, meletakkan radio, dan membukakan kotak pendingin botol minuman.
"Jangan yang dingin, please."
Abang itu mengerutkan kening sejenak. Lalu mengembalikan botol yang sudah diambilnya ke dalam kotak. Diambilnya yang lain, dibukanya tutupnya, lalu diangsurkannya.
"Nuhun."
Abang itu tersenyum. Setidaknya kali ini dia berterima kasih dengan bahasa yang dikenalnya.
Dia meminum perlahan.
Radio yang diletakkan abang penjual itu menjeritkan lagu yang sudah sangat lama tidak didengarnya.
"Saat indah kita berdua
merajut kasih
saling bina cinta
tulus murni
tiada ingkar, tiada dusta
terucap janji
selamanya cinta
menyatu di dalam kalbu
kau kusayangi
hanyalah dirimu di dalam hidup ini
oh... Tuhan, karuniamu
mampukah kuterima semua suratan ini
semuanya kupasrahkan
..."
Merpati tak Pernah Ingkar Janji. Dia mengembuskan napas. Meminum lagi perlahan. Dia masih ingat lagu itu ngetop saat film
Dia meminum lagi. Diliriknya jam beker dalam warung rokok itu. 19.11.
"Ini, Bang." Dia mengangsurkan uang, menerima kembalian, lalu melanjutkan langkahnya.
!!!
Warung telekomunikasi itu tidaklah istimewa. Bedanya secara signifikan dengan yang ada di sekitar rumah dia adalah lingkungannya yang sepi. Tidak ada anak-anak muda kongko-kongko. Tidak ada pembicaraan yang mengisi atmosfer secara monoton. Pelarian dari problem dengan orang tua, sekolah, kawan sekolah, teman perempuan, dan obat. Segalanya bisa menyulut keisengan.
Di dalam bilik teleponnya orang dapat berbicara lebih tenang karena tidak harus adu keras dengan gaduh yang ditimbulkan 'anak nongkrong' tersebut. Apalagi kalau mereka sudah bawa gitar. Lagu-lagu yang sedang jadi buah bibir dinyanyikan keras-keras ala kor upacara bendera. Parahnya, yang bersuara bas dan bariton memaksakan diri ke jalur tenor. Peterpan jadi primadona belakangan ini.
"Hatiku bimbang namun tetap pikirkanmu
selalu, selalu dalam hatiku
kumelangkah sejauh apa pun itu
selalu, kau di dalam hatiku
kuberjalan, berjalan, memutar waktu
berharap temukan sisa hatimu
mengertilah, kuingin engkau begitu
mengerti, kau di dalam hatiku
tak bisakah kau menungguku?
hingga nanti tetap menunggu
tak bisakah kau menuntunku?
menemani dalam hidupku
dara, kau menjadi hidupku
ke mana, kau tahu isi hatiku
tunggu sejenak aku di situ
jalanku, jalan menemukanmu..."
Dengan segala hormat, Peterpan cukup punya potensi bermusik dan sudah menghasilkan karya-karya melodius bersifat softdrink: enak dan menyegarkan. Keunggulan karya mereka pun tampak saat disuarakan 'anak nongkrong' tersebut. Meski 'ancur-ancuran' dibawakan, masih terdengar harmonisasinya. Tapi, begitulah, dia jadi agak sungkan mendengarkan secara khusus karya mereka.
Hanya beberapa meter lagi warung telekomunikasi itu tampak. Beberapa toko di sekitarnya tampak bersiap tutup. Dia mempercepat langkahnya.
"Hei, Mas!"
Suara agak berat menyentak kesendiriannya. Saat dia menoleh ke arah suara, seorang pemuda sedang menghampirinya.
"Ada rokok, Mas? Boleh minta dong," katanya setelah dekat dan menyejajarkan langkah karena dia tidak berhenti.
"Saya tidak merokok." Jawaban standar untuk menolak. Tapi rupa-rupanya itu tidak memuaskan pemuda tersebut.
"Kalau begitu, bagi duitnya dikit dong. Buat beli sebatang aja."
"Tidak ada." Sambil bersikukuh menjawab negatif, dia bersiap. Makhluk sejenis pemuda itu jarang gampang menyerah kalau sudah berani meminta sesuatu dari orang yang tidak dikenal.
"Ah, reseh lo!"
Dia pun bersiap sambil terus melirik saat pemuda itu justru memperlambat langkah. Sebuah dorongan tangan mengenai pundaknya. Nah, benar, kan. Dia mencoba mengelak. Sebuah pukulan menyusul. Dia membalik badan, menangkis, lalu mengirim tendangan. Kena pinggang. Pemuda itu terhuyung sedikit. Sambil memperbaiki posisi, pemuda itu mengambil sesuatu dari saku celananya. Benda yang berkilat saat terkena refleksi lampu jalanan di genggamannya.
Tangan yang menggenggam benda berkilat itu bergerak maju. Dia mengelak dan terus menghindar saat gerakan tangan itu seolah tidak berhenti maju, mengayun, dan menyabet. Meskipun demikian ada juga bagian tangannya yang tergores oleh benda tersebut. Semacam pisau lipat rupanya.
"Ugh!" Suatu serangan mengincar perut dan kemudian dia merasakan perih. Sambil mundur jauh, dia meraba bagian yang perih. Terasa basah pula sekarang. Perut tertusuk menjadi alasannya untuk menyudahi perlawanan.
Tapi pandangannya masih sempat berkeliling untuk mencari benda yang dapat menghambat penyerangnya itu. Batu sebesar telur ayam diambilnya lalu dibidikkan ke arah pemuda itu. Kepala pemuda itu kena justru karena bergerak maju mendekatinya. Dia mengharap rasa sakit di kepala menghambat laju pemuda itu. Ayolah, kamu bukan Superman,
Tanpa peduli lebih jauh, dia berlari ke arah pertokoan yang masih menampakkan aktivitas melalui sinaran lampunya. Perih dan semakin basah.
"Tolong! Saya ditusuk!" Hanya itu yang bisa diucapkan sesampainya di sebuah toko. Pandangannya sudah berkunang-kunang.
!!!
Ruangan serbaputih khas rumah sakit itu dipandanginya lagi. Dia tertolong. Orang toko itu membawanya saat dia sudah tidak sadarkan diri. Berikutnya adalah masa lalu yang kabur, samar-samar saja yang bisa diingatnya. Waktu seolah lompat dan ada kekosongan yang mengisi kronologi hidupnya. Yang jelas, luka tusuk di perutnya sudah dijahit. Kering, tapi masih menyisakan perih.
Suara ketukan sepatu saat beradu dengan lantai didengarnya. Seorang suster datang.
"Sudah bangun?" Dia tersenyum. Pertanyaan suster itu sebenarnya ambigu, pikirnya. Sudah jelas dia sedang memandang suster, masa masih ditanya basa-basi seperti itu. Atau suster mengacu ke hal lain yang juga bisa bangun? Ada-ada saja.
Suster itu memeriksa peralatannya, lalu mengambil pengukur suhu tubuh. Ketiak jadi mediator pengukuran.
Muncul lagi seseorang. Dia mengingatnya agak buram, orang toko itu.
"Apa kabar?"
Dia tersenyum. "Baikan, Mas. Terima kasih, sudah bantu saya waktu itu."
"Eh, ...iya, mumpung ingat. Ini dompet Mas. Saya terpaksa membukanya untuk tahu nama Mas, alamat, dan keluarga atau orang yang dapat dihubungi. Tolong diperiksa lagi, Mas, siapa tahu ada yang hilang." Orang toko itu mengangsurkan dompetnya.
"Terima kasih, Mas... Mas siapa namanya?"
"Luki."
"Iya, Mas Luki, terima kasih. Tidak apa-apa dompet saya dibuka. Saya paham. Orang itu tidak sempat bisa mengambil dompet saya kok. Jadi, saya kira tidak ada yang hilang. Saya percaya Mas Luki."
"Terima kasih. Tapi saya tidak bisa lama-lama di sini, Mas. Saya pamit. Semoga cepat sembuh. Oh iya, keluarga Mas tadi sudah dihubungi. Sebentar lagi juga datang."
Dia mengangguk. "Mas Luki, sekali lagi saya terima kasih atas kebaikan Mas."
Mas Luki tersenyum. "Ah, biasalah itu. Namanya orang sedang kena musibah, ya kalau bisa dibantu, dibantu 'kan? Saya pamit, ya, Mas."
Sosok Mas Luki yang agak kurus itu berlalu. Altruis di zaman oportunistis. Tinggal dia dan suster yang masih sibuk dengan ritual medisinal yang menghidupkan ruangan itu. Pasien-pasien lain di ruangan yang sama tampak berselimutkan kedamaian.
"Istirahat, ya." Suster yang tadi menunggui pengukuran suhu tubuh dan mengecek aksesori medis yang ada di sekitar tempat tidurnya kembali mengeluarkan perkataan yang menurutnya aneh. Memangnya mau ngapain lagi selain istirahat, pikirnya.
"Sebentar lagi minum obat. Saya akan ambilkan."
Berlalunya suster tidak otomatis membuat dia bisa istirahat. Dia menghela napas. Di sinilah dia sekarang, dia membatin. Rumah sakit. Dan tidak kesampaian niatnya menelepon. Vanessa. Hm, dia seharusnya meneleponnya karena ini hari terakhir Vanessa di Jakarta. Selama ini Vanessa di Lombok, berkuliah. Jangan tanya kuliah apa; dia sendiri tidak tahu pasti apakah di Lombok Vanessa benar kuliah atau sekadar melarikan diri dari sesuatu.
Vanessa anak orang berada. Ayahnya dan ibunya pengusaha. Jakarta hanyalah tempat persinggahan karena basis aktivitas bisnis mereka Makassar. Vanessa di Jakarta kali ini hanya dua hari, untuk menyusul kedua orang tuanya yang sedang ikut pameran bisnis, dan kemudian bersama-sama segera ke Singapura, tempat kakaknya berkuliah hukum bisnis—atau juga melarikan diri dari sesuatu?
Dia dan Vanessa bertemu beberapa tahun lalu saat dia melancong ke salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Ketika itu dengan uang tabungan secukupnya dia memilih merasakan pasir putih yang ekonomis tapi tidak kalah indahnya di sana. Dari Muara Angke dia naik kapal nelayan; ongkosnya tidak lebih dari Rp10 ribu. Jika pulau tujuan tidak jauh bahkan bisa hanya Rp2 ribu. Di pulau itulah perkenalan yang serbakebetulannya hanya bisa ditandingi cerita telenovela ala Raam Punjabi berlangsung.
Saat itu dia tidak berpikir macam-macam karena jika melihat dari 'penampakannya', kelas Vanessa jauh di atasnya. Kalau kata temannya yang suka makan bersama dia di kantin kampus, not in the same league. Dia pun mafhum dan hanya ingin bersenang-senang dengan uang yang sudah dikumpulkannya sekian lama. Namun, entah khilaf entah sedang bosan dengan orang-orang di liganya, Vanessa malah mengajak dia menikmati olahraga air di Pulau Bidadari. Seorang bidadari mengajaknya ke Pulau Bidadari.
Liburan Vanessa di Jakarta singkat dan lebih singkat lagi perkenalan mereka. Namun, mereka masih bisa berhubungan melalui jasa temuan Conseil Europeen pour la Recherche Nuclaire alias CERN. World wide web, atau internet istilah populernya. Surat elektronik cukup efektif menggadang kontak mereka hampir sebulan sekali. Dan sekali lagi kesempatan untuk bertemu di Jakarta muncul. Kemarin dan hari ini. Seharusnya.
Namun, ternyata dua hari itu Vanessa punya agenda terjadwal bak anggota dewan wakil partai yang sering rendezvous di Senayan. Jadilah dia hanya punya kesempatan menelepon ke nomor yang pernah diberi tahu Vanessa. Tadi seharusnya. Entah kapan lagi dia bisa menelepon. Even cellular phone is out of question. Apalagi kembali bertemu.
"Pernah kusimpan jauh rasa ini
Berdua jalani cerita
Kauciptakan mimpiku
Jujurku hanya sesalkan diriku
Kautinggalkan mimpiku
Namun kuhanya sesalkan diriku
Kuharus lepaskanmu
melupakan senyummu
semua tentangmu, tentangku, hanya harap
jauh, 'ku jauh, mimpiku dengan inginku...."
Sial, di pikirannya menggema lagu Peterpan itu. Karena sublimasi dari ruangan serbaputih ini? Atau mungkinkah memang sudah jadi bagian alam bawah sadarnya? Jauh Mimpiku. Mungkin benar juga itu lagu yang dapat menyusup ke alam bawah sadarnya melalui berbagai jalur; pengamen di bus kota, kor pas-pasan anak nongkrong, videoklip di televisi, dan cuap-cuap anak-anak di sekitar perumahannya. Kauciptakan mimpiku... perlahan Vanessa menjadi mimpi baginya. Bukan sekadar sahabat pena zaman digitalisasi.
Kuharus lepaskanmu. Melupakan senyummu. Semua tentangmu, tentangku, hanya harapku..... Aduh! Sial, dia mengalami apa yang sering dicetuskannya ke teman-temannya yang sedang galau: mellowizing the frozen heart.
Gemerisik plastik di meja membawanya kembali ke normalitasnya yang terbaring sebagai pasien. "Hanya minum obat kan, Suster? Tanpa suntik?"
"Kalau iya suntik, nggak apa-apa kan? Yang penting cepat sembuh."
Suara itu berbeda. Bukan suster yang tadi. Dia membuka mata. Terperanjatlah dia. Keterkejutan yang sangat hingga mengirim darah ke berbagai penjuru tubuh. Darah yang sampai di tempatnya tertusuk mengejangkan ototnya dan membuahkan rasa perih. Dia meringis. Tapi sambil mencoba senyum.
"Vanessa?"
!!!
Vanessa. Senyumnya merespons dia yang meringis. Senyum yang mengembang bagaikan bunga bugenvil putih. Berkelompok kecil, rapat, rapi, tapi tidak berkurang keindahan detailnya. Merebakkan keceriaan. Bola matanya juga memantulkan senyum itu seperti rembulan semarakkan malam hening dengan halo. Rindu dia membuku dikupas Vanessa hanya melalui segurat senyum.
"Van? Tahu dari mana aku di sini?"
"Kamu itu..., ketika aku akhirnya kasih nomor telepon ke kamu, tentunya aku mengharap kamu sendiri yang menelepon dan memberi kabar, apa pun itu. Bukan orang lain, apalagi dengan kabar bahwa kamu ditusuk."
Tentu saja, dia membatin. Otaknya masih berserak dan kacau rupanya. Tentu saja Mas Luki.... Tapi tadi Mas Luki
"Ini bukan mauku, Van."
Bugenvil putih itu muncul lagi. "Juga aku."
"Juga bukan jenis pertemuan yang aku mau. Paling tidak, maunya, cerah ceria santai ringan dengan tambahan The Doors, The Pretenders, Lighthouse Family, Enya, atau John Denver. Atau Meggi Z dan Hamdan ATT."
"Seperti di pulau dulu," kata Vanessa dengan nada lunak.
Mereka bertatapan. Detik-detik dalam diam menyatukan kenangan.
"Too good to be true," dia mengakhiri penyatuan itu.
"Jangan memulai itu."
"Tahu diri dan realistis, Van." Dia menyambung, "Boleh aku tanya sesuatu yang sangat pribadi, Van?"
"Tapi aku nggak janji bisa jawab."
Dia mengangguk. "Cukup adil. Tapi lebih adil lagi kalau jawab."
"Apa?"
"Kamu lebih suka pantai atau gunung?"
Bola mata Vanessa seolah membesar. "Itu yang kamu sebut sangat pribadi?" Vanessa bicara sambil menahan senyum. Tulang pipinya seperti meninggi pula. Agak lucu ekspresinya.
Dia mengangguk. "Itu berhubungan erat dengan apa yang sudah aku pikirkan beberapa waktu. Mengapa kamu seperti terbuka sekaligus menutup diri kepadaku di saat bersamaan, Van? Itu hanya perasaanku, iya. Tapi aku pikir itu objektif. Kamu ingat, pernah dalam e-mail aku bertanya sesuatu, atau mengatakan sesuatu, tapi tidak pernah kamu jawab seakan itu tidak pernah ada."
Bugenvil putih Vanessa muncul lagi. "Aku…suka… di pantai bersama orang gunung?"
Hanya ingatannya tentang jahitan bekas operasi yang menahannya dari tertawa. Berbuah senyum seringai. "Ayolah, kamu tahu yang aku maksud."
Kelembutan memancar dari bola matanya. "Sungguh kamu mau tahu? Siap menanggung risiko menjadi tahu?"
"Terkadang orang yang bahagia adalah orang yang tidak tahu. Itu aku paham, Van. Aku juga mafhum saat aku mengalami keduanya, tidak tahu dan tidak bahagia." Dia menarik napas lebih panjang.
"Rinat—,” Vanessa merasa tenggorokannya tercekau sehingga tidak bisa meneruskan kata 'sayang' yang hendak diucapkannya. "Rinat…. Bukannya aku tidak dapat meraba apa yang berkembang di antara kita. Perasaan kamu. Pertemanan kita. Tapi dari awal aku tidak mempersiapkan diri untuk apa yang berlangsung kini. Saat aku menyadari perasaanmu merambat bukan lagi sekadar sebagai teman, aku hanya mencoba berpegang pada garis persahabatan—yang kurasa juga makin menipis. Rinat, kamu menawan."
"Tapi…?"
Vanessa menggeleng. "Kamu menawan. Dan aku tertawan. Tapi," bugenvil putih muncul sejenak, "aku harus jujur bahwa bagian terbesar dari apa yang aku idam-idamkan tidak mungkin untuk terwujud melalui kamu."
Ludah itu pahit, jenderal—dia membatin setelah mendengar tutur Vanessa.
"Aku paham dan tahu siapa aku," ujarnya, "anak orang biasa yang jauh dari berkecukupan, berpenghasilan pas-pasan, masa depan seperti sepotong kuwung-kuwung…. Mana dapat bersanding dengan—."
"Sayang," Vanessa memegat ucapannya, ”bukan itu. Tentu kamu tahu bukan karena itu. Soal harta, rezeki, status, kamu tahu aku tidak mempermasalahkan. Status sesuatu yang terberi. Kita terima apa adanya dari-Nya karena kita tidak memilih dari siapa kita lahir. Rezeki sudah ditetapkan-Nya juga. Kita hanya diwajibkan berusaha menjemputnya. Dengan siapa pun aku menjalani hidup ini, rezeki untukku ya sesuai dengan yang sudah digariskan-Nya. Tidak akan pindah ke orang lain atau berkurang hanya karena pasangan hidupku orang jelata. Rezekiku akan sampai kepadaku juga. Takarannya berkurang hanya bila usahaku menjemputnya tidak optimal."
Dia tatap Vanessa lebih lekat. Glasnos. Yang barusan didengarnya membuat dia tercenung. Apa yang didengarnya seharusnya tidak keluar dari sosok yang lebih muda
"Aku ingin menikah seperti Mami, di tempat Mami menikah dengan Papi. Ingat, kan, aku pernah cerita itu. Aku mengidamkan menikah dengan gaun pengantin seanggun gaun Mami. Di kapel yang sama juga. Aku melihat foto-fotonya. Istimewa betul, bagiku. Sakramen perkawinannya, semuanya. Sedangkan kamu, Rinat, kamu muslim. Bagian terbesar dari apa yang aku idam-idamkan itu tidak mungkin untuk terwujud melalui kamu."
Dia mengangguk pelan atas fakta yang dibentangkan Vanessa. Dia juga tidak melupakannya. "Aku tidak lupa itu. Termasuk saat kamu bilang bekas pacarmu dulu yang sudah dekat dengan keluargamu minta kembali bahkan bertunangan agar ikatan kalian jelas dan meyakinkan."
Terkadang orang yang bahagia adalah orang yang tidak tahu. Dia mencoba tersenyum. "Tapi kamu mungkin lupa, paling tidak, satu hal, Van."
Vanessa menggeremet ke sisi kanan tempat tidurnya. Sedari tadi berdiri, kini menyandarkan badannya pada tepi ranjang. Dia menggerakkan tangan, memberi isyarat agar Vanessa duduk saja di tepi tempat tidur.
"Apa?"
!!!
Dalam posisi lebih dekat ini tekstur Vanessa yang telah sekian lama menjadi hanya bayangan dalam ingatannya kini tampak jelas. Semua organ terletak pada tempatnya secara simetris. Pas pula besar-kecilnya. Kedua mata yang dinaungi alis yang menjalin halus. Hidung yang santun. Semuanya. Dia membatin, mungkin Tuhan sedang sangat bahagia dan tersenyum ketika merancang Vanessa.
"Apa?" Vanessa mengulang tanyanya setelah duduk di tepi tempat tidur.
Mulutnya terbuka, tapi hanya meloloskan udara. Tidak ada kata. Suara ketukan sepatu yang mendekatlah penghalangnya. Suster yang tadi datang.
Suster mendekat sambil memandang sekilas-sekilas kepada Vanessa. Tanpa bicara. Syukurlah, dia membatin, daripada basa-basi suster itu membuyarkan suasana hatinya.
Sebuah gelas dan tiga wadah serupa sloki berisi pil-pil diangsurkan. "Minum obat dulu, ya. Setelah itu segera istirahat. Mbak, pasien harus segera istirahat." Suster itu menatap Vanessa.
"Suster pernah dioperasi?" Suster seketika menoleh kepadanya lalu menggeleng. Mungkin sambil terheran-heran atas pertanyaan dia barusan.
"Rasanya amat tidak enak, Suster. Obat itu hanya menawarkan rasa sakit badaniah. Tapi masih ada rasa tidak enak di hati dan pikiran saya, Suster. Nah, inilah penawarnya." Dia mengarahkan pandangan ke Vanessa.
Suster itu tersenyum tipis, tapi kemudian segera berlalu tanpa bicara.
Vanessa menatapnya dengan mengerutkan kening. Dia tersenyum saja. "Seorang lelaki harus melakukan apa yang harus dilakukan seorang lelaki."
"Konyol." Vanessa mengerucutkan bibirnya.
Dia tertawa pelan. Di bawah pandangan Vanessa diteguknya pil-pil itu. Lalu dipejamkannya matanya sejenak.
"Jangan sok istirahat begitu deh. Apa tadi?" Vanessa menyentil tangannya.
Dia menatap Vanessa lekat. "Kamu mau saya yang cuma seorang juru taksir ini, atau surveyor-lah kalau kata slip gaji saya, mengungkapkan apa yang sudah jadi kesadaran umum tentang hal-hal yang kamu tuturkan tadi?"
"Tuh kan, kamu sepertinya merendahkan diri untuk merendahkan aku."
"Bukan itu. Cuma memancing kesadaran kamu."
Vanessa merengut. "Apa sih? …Itu ya, jodoh di tangan Tuhan?"
Dia tersenyum. "Hampir benar. Tapi masih ada lagi. Kalau yang seperti kamu bilang tadi, jodoh di tangan Tuhan, bagaimana kalau orang tua tidak sreg dengan 'jodoh pilihan Tuhan' itu? Memang, orang tua tidak selalu tahu bahwa yang baik buat kita menurut mereka belum tentu baik juga di mata Tuhan; dan vice versa—yang baik buat kita di mata Tuhan belum tentu dianggap baik pula buat kita dalam pandangan mereka. Tapi bukankah rida orang tua adalah rida Tuhan? Jadi kalau orang tua meridai seseorang yang sebenarnya bukan jodoh kita menurut Tuhan untuk bersama kita, bagaimana?"
"Maksud kamu bagaimana? Bagaimana jadinya?" Vanessa agaknya terbingungkan oleh penuturannya.
"Van, ada lagi. Manusia merencanakan, Tuhan menentukan." Diperhatikannya Vanessa yang bagai mematung, duduk di tepi tempat tidur tanpa gerak.
"Perbedaan agama itu sesuatu yang prinsip, Rinat." Tutur Vanessa lunak, bahkan seperti berbicara pada diri sendiri.
"Perbedaan…. Kamu tahu Sungai Gangga, Van?"
Vanessa mengangguk. "Di India."
"Kamu sudah ngerjain PR geografi, rupanya," dia tersenyum, sedangkan Vanessa mendelik. "Van, anak Sungai Gangga terpisah-pisah. Masing-masing punya nama.
Vanessa terdiam mendengar itu. Mencerna maksud ucapan itu. Saat diam itu dirasa terlalu lama, dia menggerakkan tangannya untuk menyentuh tangan Vanessa. "Kok diam?"
Vanessa tersenyum dan tetap terdiam.
"You know that it would be untrue," dia seperti membisikkan lagu itu untuk mencairkan diam Vanessa.
"You know that I would be a liar
If I was to say to you
Girl, we couldn’t get much higher
Come on baby, light my fire
Come on baby, light my fire
Try to set the night on fire—," sentuhan Vanessa menghentikan bisikannya.
Sentuhan itu membuatnya berhenti membisikkan dendang The Doors dan merespons dengan sentuhan yang sama. Sentuhan yang membuat pandangan mereka berdua baur dan The Doors meneruskan dendang kenangan itu dalam benak.
Time to hesitate is through
No time to wallow in the mire
Try now we can only lose
And our love become a funeral pyre
Come on baby, light my fire
Come on baby, light my fire
Try to set the night on fire
"Ouch!" Sentuhan itu berakhir akibat pekik kecilnya. "Kenapa?" Vanessa memerhatikan tangannya yang mengelus bagian perutnya.
"Pinggul kamu, Van.
"Spray air cabai. Jaga-jaga. Buat nyemprot bad guys yang coba-coba kriminal ke aku di jalan. Biasalah." Vanessa memperlihatkan tabung kecil dari saku celananya.
"Untunglah aku ketemu kamu di sini dan di pantai dulu. Bukan di jalan."
Vanessa tersenyum, menyimpan kembali tabung itu, lalu menyorongkan tubuhnya dan menyentuh dia lagi. Sentuhan yang lebih singkat daripada yang tadi. "Istirahatlah," kata Vanessa kemudian, "aku jagai kamu sampai pagi. Setelah itu aku pulang. Keluarga kamu akan diberi tahu pagi. Aku—."
Vanessa tidak meneruskan ucapannya. Namun, dia tidak mempertanyakannya. Tiba-tiba dia merasakan kelelahan yang sangat. Entah kenapa. Dia tidak berkata-kata. Hanya mampu menatap Vanessa yang menepuk-nepuk lembut tangannya. Selanjutnya dia hanya memandangi Vanessa sampai matanya tidak sanggup berjaga. Dia mungkin akan bertahan terjaga sekuat-kuatnya dan bercakap-cakap tentang apa saja andai tahu bahwa itulah saat terakhir dia dapat melihat Vanessa. Itu perjumpaan terakhir.
!!!
Saat pijar-pijar senja menjelang terlihat dari jendela ruangan tempatnya dirawat, tibalah bungkusan itu. Dia berdebar. Dari Vanessa, kata petugas yang tadi datang untuk menyampaikannya. Bungkusan itu dititipkan di resepsionis. Ditatapnya bungkusan itu. Ukurannya kira-kira 18 cm x 18 cm dengan ketebalan kurang lebih 10 cm. Pada kertas bungkusnya yang bercorak kubisme berwarna merah hati tertulis namanya dan nomor ruangannya.
Dia menarik napas. Entah mengapa, dia melihat dulu sekelilingnya sebelum membuka bungkusan itu. Pasien lain, delapan orang totalnya, sebagian besar hanya berbaring. Mungkin tidur. Beberapa lainnya membaca koran atau majalah pemberian keluarga yang membesuk. Dia kini sendiri karena kakak yang dapat giliran menungguinya sudah pulang.
Kertas pembungkus dilepasnya perlahan. Satu demi satu rekatan dicungkilnya dengan ujung kukunya. Sebuah dus terlihat dan mengindikasikan isi paket itu. Telepon seluler, dia membatin. Dia tidak peduli merek dan tipe telepon seluler itu, tapi kemudian tak urung dia terkesima juga dengan bentuknya yang mungil. Sebuah kertas terlipat seperti
"Untuk Rinat," dia mulai membaca.
Dengan pertimbangan yang kamu tahu tidaklah mudah untuk seorang seperti aku, aku harus mengatakan ini juga kepada kamu. Aku rasa kamu harus mulai melupakan aku dan membuka diri seutuhnya bagi dunia baru yang sesuai dengan kehidupanmu. Bukan, aku bukan mempermasalahkan derajat atau apalah namanya itu. Bukan soal kamu anak orang biasa, sedangkan orang tuaku berada. Bukan soal kamu lulusan D-3 dan kerja surveyor, sedangkan aku strata satu dan seterusnya…. Namun, masalah agama inilah yang bikin aku kalut dan takut akan perasaan ini. Impianku itu juga membuatku menimbang lain. Jadi, lupakanlah aku. Aku tidak bisa mengatakannya dengan lebih halus lagi.
Ini adalah pemberian tulus dengan timbangan sebatas wawasanku, yang aku yakini akan memudahkan kamu melupakan aku dan memudahkan aku pergi. Aku percaya kamu yang lebih berwawasan daripada aku dapat menangkap maksudku dengan jernih soal pemberianku ini. Kalau aku nggak punya HP, itu karena aku lebih senang untouchable. Beda dengan kamu. So, kenalilah dunia baru, kehidupan baru, yang tidak menempatkan keyakinan pribadi dalam kotak konflik. Menempatkan keyakinan pribadi dalam konflik seperti menyambitkan batu ke permukaan air danau, setiap kali menyentuh permukaan batu itu seketika mental, mental lagi, dan mental terus hingga menelusup di suatu titik yang mungkin sangat jauh dari tujuan semula. Juga, janganlah minder. Jangan segan menerima sinyal-sinyal baru. Dan pikatlah dunia sebagaimana kamu menawan aku hingga kalut begini.
Rinat, aku tidak bisa mengatakannya dengan lebih halus lagi. Lupakan aku.
Semoga keadaan kamu jauh lebih baik sekarang. Aku doakan dari jauh.
Yours,
Vanessa
Dia menatap surat itu lama, sedangkan tangannya seperti tak dapat berhenti menimang-nimang telepon seluler itu. Apakah ini perasaan dia saja, ataukah lapisan ozon yang makin tipis itu memang menguapkan udara di ruang ini? Dia merasa agak sesak. Dipandanginya telepon seluler itu. Mungil, seiring dengan hatinya mengecil….
"Sudah bangun?" Suara suster yang selalu berbasa-basi tapi ambigu itu memapas kebuntuan yang dirasakannya.
Dia hanya tersenyum, yang lebih mirip seringai dirasakannya.
"Wah, sakit dapat kado HP," suster itu menoleh ke bungkusan dari Vanessa itu dan tersenyum.
"Suster tahu soal HP? Bagaimana cara pakainya?" Diangsurkannya dus telepon seluler itu ke suster.
Suster tersenyum. "Masak nggak tahu?" Namun, diterimanya juga dus itu.
Dia menggeleng. "Eh, nama suster juga saya nggak tahu ya…."
"Ika." Suster tersenyum lagi.
Suster Ika. Baru dia sadar ternyata senyum suster Ika enak dilihat. Dia pun tersenyum. Ditatapnya suster Ika lebih lekat. Sekarang lapisan ozon tak setipis tadi, rasanya.
!!!
Diposting oleh
Dony
di
10:50 AM
1 komentar