Saya tahu deh, hari ini, Minggu (9/7), kalian tidak beli Media Indonesia... Mungkin karena Kompas-minded, ya? Hari gene, ketika kebebasan pers menemukan ujiannya dengan terbuka akses informasi dan berita, masih berkeras membaca hanya satu koran? Mungkin melihat beberapa koran sekaligus dapat membuka lebih luas wawasan. Mungkin juga jadi lebih jeli membaca informasi.
Nah, untuk soal jeli-menjeli itu, berikut ini saya muatkan tulisan saya dalam rubrik Sudut Pandang di Halaman Khusus Piala Dunia 2006 Media Indonesia. Ada pendapat lain?
Aksioma Martins
KETIKA Antonio Matiasar alias Zinha mencetak gol ketiga untuk Meksiko saat menghadapi Iran dengan sundulan, Senin (11/6) lalu, saya terpana. Pemain asal klub Toluca (Meksiko) itu bagai terbang saat menyambut umpan Mario Mendez. Gol yang indah.
Zinha yang bertinggi badan 163 cm membuat saya teringat kepada Adailton Martins. Pemain Brasil itu menjadi sensasi ketika tampil dalam Piala Dunia Junior 1997 di Malaysia. Ia membukukan 10 gol dan menjadi pencetak gol terbanyak. Martin bersaing dengan David Trezeguet dan Thierry Henry (Prancis), Juan Roman Riquelme (Argentina), Michael Owen dan Jamie Carragher (Inggris), Atsushi Yanagisawa (Jepang), dan lain-lain dalam turnamen yang dijuarai Argentina itu.
Martins, kelahiran 24 Januari 1977, ketika itu terkesan berpostur ringkih. Namun, sepuluh gol yang dicetaknya jauh melampaui raihan Trezeguet (lima gol), Yanagisawa (5), Riquelme (4), Henry (3), Owen (3), Damien Duff (2), dan Carragher (1). Ia pun menjadi buah bibir dalam perhelatan di negeri jiran itu.
Dalam sebuah wawancara, berkaitan dengan kesan postur ringkih Martins, seorang wartawan bertanya, "Apakah Anda tidak gentar dengan pemain lawan yang bertubuh lebih tinggi dan lebih besar daripada Anda?" Jawaban Martins menyadarkan saya akan kenyataan yang sederhana.
"Selama permainan dilakukan di atas tanah dan bola dibawa menyusur lapangan rumput, tinggi badan tidak banyak berpengaruh. Yang berperan adalah kemampuan mengendalikan bola. Dan karena itu, saya tidak perlu khawatir sama sekali."
Sembilan tahun berlalu. Seteru Martins seperti Trezeguet, Henry, Owen, Yanagisawa, Esteban Cambiasso (Argentina), dan Stephen Appiah (Ghana) hadir di tanah Bavaria untuk memperkuat timnas senior masing-masing dalam Piala Dunia Jerman 2006. Sayangnya, Martins absen. Tampaknya, ia 'salah jalan' ketika memilih Parma (Italia) sebagai pintu pembuka kariernya di Eropa. Pada 1997-1998 Parma dihuni penyerang tajam Enrico Chiesa dan Hernan Crespo sehingga ia hanya jadi cadangan abadi. Ia kini bernaung di Verona (Italia) setelah Paris Saint-Germain tak dapat menjadi tangganya ke puncak.
Sembilan tahun kemudian, Zinha melalui Piala Dunia 2006 mengangkat kembali aksioma Martins. Zinha membuat saya memerhatikan sisi lain Piala Dunia 2006. Aksi para pesepak bola bertubuh 'mungil', di bawah rata-rata pemain peserta Piala Dunia, bahkan rekan setim sendiri.
Ternyata tidak terlalu banyak pemain yang bertinggi badan di bawah 170 cm. Selain Zinha, di Meksiko ada Andres Guardado (169 cm) dan Ramon Morales (168 cm). Argentina punya Carlos Teves (168 cm) dan Javier Saviola (169 cm). Pantai Gading diperkuat Arthur Boka (166 cm) dan Bakary Kone (163 cm), sedangkan Togo dengan Yao Junior Senaya (167 cm), dan di Prancis Vikash Dhorasoo (168 cm).
Ternyata, yang mencetak gol bukan hanya Zinha. Teves, Saviola, dan Kone juga sudah masuk daftar. Gol kesatria 'kecil' tersebut pun indah-indah pula.
Untuk partai final, Fabio Cannavaro (175 cm), Mauro Camoranesi (174 cm), dan Alessandro del Piero (173 cm) di pihak Italia serta Frank Ribery (175 cm) dan Claude Makelele (174 cm) di sisi Prancis masuk jajaran kesatria 'kecil'.
Yang menonjol tentunya Cannavaro. Bek yang dipercaya sebagai kapten Italia itu harus mematikan gerak striker lawan yang lebih tinggi daripadanya, Thierry Henry (188 cm). Seru? Tonton saja.
Yang jelas, pesepak bola Indonesia yang rata-rata berpostur mirip harus ambil pelajaran dari mereka.****