Sunday, July 30, 2006

Juara tanpa Keringat


INTER WINS THE 2005-06 SCUDETTO
Wednesday, 26 July 2006 20:21:57

MILAN - Inter has won 2005-06 Italian League by automatically awarded. The F.I.G.C. confirmed the victory, after having received the decision of the special committee formed to reassigned the title previously awarded to Juventus.

Pada 26 Juli lalu FIGC resmi mencabut gelar scudetto 2005/06 Juventus dan menyerahkannya ke Inter Milan yang menduduki peringkat pertama setelah ada perubahan posisi dalam klasemen akibat hukuman skandal pengaturan skor yang diotaki Juventus.
Inter Milan yang terakhir kali juara pada musim 1988/1989 itu akhirnya mengakhiri puasa gelar dengan cara yang tidak biasa. Juara tanpa berpeluh. Gelar ke-14 itu tetap disambut dengan kegembiraan meski disebut-sebut aneh.
Mungkin, istimewanya, gelar tersebut hadir bersamaan dengan lenyapnya Juventus, yang kerap dengan kasatmata dibantu wasit dalam berbagai pertandingan domestik, dari kompetisi Serie A. Juventus terdegradasi bersamaan dengan runtuhnya hegemoni mereka di Serie A secara memalukan.
Tataplah juara tanpa berpeluh ini.
Tataplah Serie A 2006/07 tanpa Juventus.

You Stupid Man

For some, love is blind. For me, love is stupid.
Itu ucapan penutup yang dicetuskan tokoh utama lelaki film You Stupid Man. Namun, yang enak ditonton dalam film itu Milla Jovovich. Aktris kelahiran Kiev, 17 Desember 1975 itu memerankan Nadine (nama belakangnya jelas bukan Chandrawinata). Film yang ringan, tapi buat saya, karena ditonton dini hari, meninggalkan kesan (umm, hubungannya apa yah?).
Film dini hari itu memang dipotong-potong. Karena memenuhi jadwal yang ketat Jumat sekitar pukul 03.00 itu, pihak tv swasta itu sayangnya telah menjadi editor ahli yang menyunting lagi adegan-adegan film tersebut. Padat dan ringkas.
Saya menonton karena dini hari itu pulang sekitar pukul 03.00 akibat menunggu naskah terakhir rubrik khusus otomotif. Sialnya, sudah ditunggu lama, ternyata naskah terakhir diganti sekadar foto tanpa ada pemberitahuan ke saya. Jadilah saya manyun menunggu godot. Mungkin karena itu, You Stupid Man jadi berkesan bagi saya.
Namun, mungkin juga bukan itu saja. Jovovich berakting natural, tapi ekspresif. Lucu juga akting marahnya ketika bilang, "Tahu apa kamu tentang cinta! Cinta itu komitmen. Kesetiaan.... Kamu tidak berpaling ketika mendapatkan tawaran yang lebih menarik kalau kamu memang cinta!" Auch! Natural seperti, mungkin, teman perempuan yang kamu kenal sehari-hari di kelas, di tempat kursus, atau tetangga sekompleks.

Screen_gems_inc

Sayangnya tidak setiap hari tv swasta itu menayangkan film yang ringan dan menggelitik seperti You Stupid Man.
Kalau iya, mungkin kamu tidur pagi hari terus, you stupid man, Dony....

Gempa!

Di Jakarta belakangan ini gempa bukan lagi sesuatu yang jauh di awang-awang. Setelah gempa di Ciamis dan tsunami di Pangandaran, fenomena alam itu lebih terasa realitasnya di Jakarta.
Buktinya SMS dari pihak yang tidak bertanggung jawab telah membuat sebagian kawasan bisnis Sudirman riuh rendah karena adanya isu gempa yang memungkinkan terjadinya tsunami beberapa hari lalu.
Saya sendiri sempat mengalami getaran gempa di kantor. Waktu itu pukul sekitar 17.55 saya merasa lantai berderak-derak. Saya pikir itu karena Riko sedang tergesa-gesa dari luar ruangan untuk segera masuk. BIasanya begitu. Tapi saya lirik, Riko sedang duduk di kursinya. Jadi, ini karena langkah siapa? Lili? Tapi, kok enggak berhenti yah?
Saya pun menengok Adang. Dia pun seperti terpaku. "Gempa, ya?" kata saya ke dia.
Dia pun tertawa. "Kayaknya begitu," jawabnya. Riko pun menimpali. "Iya nih, rasanya lantai yang gue injak goyang-goyang."
Ternyata satu ruangan sedang saling pandang dengan tatapan yang seolah sedang memahami apa yang terjadi.
Lalu saya, Adang, dan Riko pun keluar ruangan. Ternyata hampir semua orang keluar dari ruangan masing-masing dan riuh membicarakan goyangan tersebut.
Orang Metro TV di ruang seberang utamanya. Seolah bercampur antara bersemangat dan terkejut, mereka membicarakan fenomena alam yang lebih sering mereka saksikan di layar kaca itu.
Saya pikir kami semua dikasih pelajaran tentang bagaimana seharusnya berlaku dan memandang fenomena alam secara lebih proporsional dan rasional.

Tiga Hari versus Lima Menit

Untuk suatu keperluan, saya minta cetak aktivitas keuangan (istilah banknya, print mutasi) tabungan saya di BCA. Kapan selesai? Ternyata bank sebesar itu mengharuskan cetakan selesai dalam tiga hari kerja karena 'sistemnya begitu'. Jadi, kalau mengajukan Jumat, tiga hari kerja kemudian baru selesai, alias Rabu. Nyatanya, di cabang Pondok Indah, saya mengajukan Senin, tapi dikatakan selesai Senin depan, dengan catatan Senin depan itu konfirmasi dulu lewat telepon karena kemungkinan selesainya Senin sore. Fiuhhh.
Biaya yang dipungut, Rp5.000 per bulan. Karena minta aktivitas tiga bulan terakhir, otomatis biayanya Rp15.000.
Ujung cerita di cabang pembantu itu, saya menutup rekening.
Lalu untuk keperluan yang sama dengan objek berbeda,saya minta print mutasi tabungan saya di Lippo. Saya diberi tahu di cabang itu biayanya per halaman Rp2.500.
Setelah mengisi formulir permintaan print mutasi, petugas yang melayani saya itu pergi begitu saja. Lima menit kemudian ia kembali dengan hasil print mutasi. Selembar. "Biayanya Rp2.500, Pak," katanya.
Saya pun terhenyak. "Sudah selesai print-nya?"
Ia mengangguk. Bergantung pada aktivitas rekening, katanya kemudian. Karena aktivitasnya sedikit, cepat dan cuma selembar. "Kalau rekening korporat, bisa berlembar-lembar dan seharian," katanya.
Saya cuma geleng-geleng kepala. Apalagi kalau mengingat cara 'print mutasi' di BCA. Mungkinkah Lippo itu bisa cepat karena mereka belum sebesar dan sekompleks BCA untuk sistem jaringan dan aktivitas perbankan? Atau mereka kebetulan bisa efisien?
Kalau ingat 'tiga hari versus lima menit' itu, saya cuma bisa geleng-geleng kepala. Perbankan Indonesia... bagaimana memprediksi efektif dan efisiensinya?

Stay Truthfully

So I turned the radio on, I turned the radio up,
and this woman was singing my song:
the lover's in love, and the other's run away,
lover is crying 'cause the other won't stay.

Some of us hover when we weep for the other who was
dying since the day they were born.
Well, this is not that:
I think that I'm throwing, but I'm thrown.

And I thought I'd live forever, but now I'm not so sure.

Itu kutipan lagu Lisa Loeb. Akhirnya, kesampaian juga untuk beli CD album Lisa Loeb. Namun, agak meleset dari keinginan semula, yang saya beli album barunya, The Very Best of Lisa Loeb. Sebenarnya ingin beli Tails, tapi karena itu album lama, sekalinya ada di toko asli impor dan harganya hampir Rp150 ribu. Fiuhhh. Dengan agak berat hati akhirnya saya pilih yang kompilasi lagu-lagu terbaik itu karena harganya 'cuma' separuhnya, Rp75 ribu. Mungkin Tails itu buat tahun depan aja, siapa tahu, album lama yang biasanya orang tak minat itu masih ada. Secara objektif, album Lisa Loeb yang bagus dan dikenal pasar ada dua, Tails dan Firecracker. Terbukti, di album kompilasi itu Tails menyumbang lima lagu, sedangkan Firecracker tujuh lagu. Selain lagu Stay yang mencatat sejarah--dengan lagu itu Lisa menjadi artis pertama yang menduduki peringkat pertama tangga lagu di radio tanpa rekaman album (record label)--dan menjadi trademark Lisa Loeb, saya suka lagu Truthfully. Lagu itu disiapkan untuk lagu tema film One Fine Day yang dibintangi Clooney dan Pfeiffer, tapi batal.



















Lagu itu berkisah tentang seseorang (kalau berdasarkan filmnya, ya tokoh yang diperankan Pfeiffer) yang sadar bahwa ia jatuh cinta kepada orang yang tidak diharapkan dan diinginkannya.

This isn't what I like to call flattery,
but I know that I believe that I've found what's true,
that I've found what's you.

Truthfully I
I'm finding finally.
Truthfully you
you helped me find at last.
Truthfully we
are finding out what's true.
And truthfully I am finding out what's you.

Surprise, cause I was flying the plane.
Surprise, cause now I'm smiling again.
Surprise, cause you showed up with your parachute.
Surprise, I'm kind of happy you showed up.

Truthfully I
I'm finding finally.
Truthfully you
you helped me find at last.
Truthfully we
are finding out what's true.
And truthfully I am finding out what's you.

Truthfully, I really can't explain, I'm floating, I'm smiling again.
Truthfully, I can't ignore you, cause I've been waiting for you.
Truthfully, I'm not desperate, I haven't changed my mind since we first met,
but the last thing that I want to do is to tell you that I'm right for you.

Truthfully I
I'm finding finally.
Truthfully you
you helped me find at last.
Truthfully we
are finding out what's true.
And truthfully I am finding out what's you.

I'm finding finally.
Truthfully, I'm finding out what's you.
I'm smiling again.
Truthfully

~

Wednesday, July 26, 2006

Teror dan Horor di Salemba

Hari ini, 26 Juli, di Salemba saya seperti merasakan teror dan horor. Awalnya, hari berjalan cukup lancar karena di luar dugaan, dari rumah ke kampus Salemba yang biasanya ditempuh dalam jangka waktu sekitar 70 menit bisa terpangkas menjadi hanya 30 menit. Kalau jalan-jalan di Jakarta bisa lancar begitu terus, asyiklah hidup di Jakarta ini. Tidak terbuang percuma umur manusia di jalan yang macet.
Namun, ketika hendak beranjak dari kampus Salemba untuk menuju kantor, terjadilah 'teror' itu. Mati lampu! Sepele? Sebenarnya tidak. Waktu itu saya ingin segera keluar dari gedung, tapi entah kenapa ketika tiba di depan lift, rasanya ada 'panggilan alam' sehingga langkah diteruskan ke peturasan. Setelah selesai dan mencuci tangan, listrik mati. Awalnya biasa, karena toh kemarin ada pemadaman juga, dari dua hingga delapan jam.
Di depan lift, barulah saya sadar bahwa lift itu dioperasikan dengan listrik. Dengan pemadaman itu, otomatis lift tidak berfungsi. Kengerian muncul. Bagaimana kalau tadi saya tidak ke peturasan dulu? Bisa-bisa saya sekarang sedang ada di lift, terperangkap seorang diri dengan perut lapar dan ketidakpastian kapan listrik nyala dan apakah tiba di lantai dasar dengan selamat, tidak seperti iklan sampo yang ramai-ramai terjebak tapi ada perempuan cantik yang bisa mendongeng untuk menenangkan hati. Entah sejam, dua jam, atau delapan jam. Auuuuu!
Akhirnya cara manual abad 20 harus ditempuh: turun tangga. Lumayan, enam lantai.
Rupanya bukan cuma itu. Muncul horor di Jalan Salemba. Angkot yang saya tumpangi berdecit-decit karena ada sedan yang jalan tidak keruan. Kadang di kiri, kadang di kanan, kadang menghalangi di tengah jalan. Beberapa sopir jelas melontarkan makian. Ketika sedan itu dapat disalip, tampaklah pengemudinya: seorang pria perlente dengan dasi nan necis mengemudikan mobil dengan satu tangan--tangan kiri--karena satu tangan sedang memegang telepon seluler. Wow! Horor banget akibatnya. Sayang ia ada di Jakarta, Indonesia. Kalau tidak, mungkin sudah diberhentikan dan ditilang.
Dua hal itu mengingatkan saya akan pemikiran Herbert Marcuse, one dimensional man. Manusia merupakan makhluk yang tidak bahagia dan gelisah sehingga untuk meraih kebahagiaan dan kenyamanan ia menggunakan teknologi. Teknologi dipacu untuk memudahkan hidup, tapi akibatnya, yang tidak selalu disadari, manusia mengalami ketergantungan teknologi. Lift, setrika, lemari es, televisi, dan komputer merupakan sedikit dari banyak hal yang pengoperasiannya bergantung pada listrik. Karena itu, secara tidak langsung orang-orang di perkotaan juga bergantung kepada listrik dalam menjalani hidup di zaman 'modern' ini.
Telepon seluler yang dalam enam tahun terakhir mengalami kemajuan sangat pesat dalam hal teknologi dan laju konsumsinya juga membuahkan ketergantungan teknologi di kehidupan masyarakat urban dan metropolitan. Pria perlente di sedan itu buktinya. Mungkin bisnisnya sedemikian padat dan urgen sehingga ketika di mobil pun komunikasi tidak bisa terputus. The show must go on, business as usual. Tinggal saya yang terkena teror dan horornya.

Sunday, July 16, 2006

Temanku Ade

"Armando!"
Kalau mendengar teriakan itu, saya bisa menduga suara siapa itu. Sosoknya tinggi, tetapi tidak terlalu besar. Proporsionallah. Kulitnya khas orang Indonesia, sawo matang. Ia asal Aceh, tapi kemudian menetap di Medan karena orang tuanya menginginkan hidup yang lebih tenang. Ia kemudian pergi lebih jauh lagi, kuliah di Bandung.
Menjelang Piala Dunia 2002 ia magang di kantor saya. Di bagian dokumentasi foto. Setelah menjadi sarjana sosial, ia berubah status menjadi karyawan tetap di kantor saya.
Ia sering menginap di kantor karena tempat indekosnya tidak menyediakan banyak fasilitas. Nanggung, katanya. Jadilah ia kerap ditemui di kantor hampir kapan pun. Pagi pukul 05.00, siang pukul 12.00, sore pukul 17.00, dan bahkan tengah malam.
Pertemanan saya dengannya lebih intens dulu karena di ruangan saya sedang demam game Moto-GP 2001. Pertama Samuel. Ia merintis bersama Wacim, Zen, dan Simon. Mereka bermain dengan jaringan yang sedang sepi pada tengah malam. Ternyata Simon sangat sulit dikalahkan. Lalu masuklah saya, hingga peta persaingan berubah. Karena di rumah terbiasa main Moto-GP juga, bahkan memecahkan fastest lap record di tiga sirkuit, tidak terlalu sulit bagi saya untuk menumbangkan Simon.
Lalu masuklah ia sebagai peserta terakhir. Ia benar-benar memulai dari awal di 'kompetisi' itu, menjadi saingan Samuel untuk menempati nomor dua terakhir.
Namun, keunggulannya sebagai orang yang kerap berada di kantor mulai mencuat. Dengan mewabahnya game itu sehingga beberapa meja di bagian wartawan diinstalkan Moto-GP, ia mendapatkan tempat yang nyaman untuk meningkatkan keahlian. Hampir tiap malam ia mengasah diri sendirian. Demi 'latihan' itu pun, ia rela absen dari 'kompetisi'. Dan, suatu malam saya terkejut.
Ketika saya menghampiri dirinya yang sedang main game itu, saya dapat melihat keahliannya meningkat. Saat itu ia membuat fastest lap record. Ternyata, yang membuat saya lebih terkejut, fastes lap record itu bukan yang pertama. Ia sudah mencetak fastest lap record di 10 sirkuit! Fiuh....
Mudahlah ditebak, saya pun jadi pecundang. BUkan hanya tak sanggup mengejarnya, saya bahkan tersusul oleh Wacim yang tidak hanya terus berlatih, tetapi bahkan meningkatkan versi Moto-GP menjadi edisi 2002. Saya pun tetap gagal mengalahkan mereka terutama karena saya dipindahkan ke ruang lain, yang komputernya hanya memiliki game model Tetris, Zoo Keeper, tiga kepala hewan segaris.
Sejauh ini, apa hubungannya dengan "Armando!"?
Itu panggilannya ke saya. Suatu kali ia memanggil saya "Dony Armando". Saya tertawa. Apa pasal? Ia pun bilang saya mengingatkannya kepada salah satu tokoh sinetron telenovela. Upss! Yang mana? Ia atidak menjelaskan yang mana tepatnya, tapi berkeras saya identik.
Entahlah, itu tentu sangat mungkin untuk diperdebatkan. Namun, yang saya pikir adalah itu bukanlah penghinaan. Karena itu, saya pun mencari panggilan untuknya yang mengandung pujian. Tadinya saya mau panggil "Rossi", merujuk ke pembalap andal Valentino Rossi. Namun, ada wartawan di kantor saya yang nama panggilannya Rosi, Mbak Rosi tepatnya. Saya pun mengurungkan panggilan itu agar tidak terjadi salah omong atas panggilan itu. Lalu saya panggil "Gibernau" atau "Sete", merujuk ke pembalap Spanyol Sete Gibernau yang kala itu menjadi saingan terberat Rossi.
Namun, selain "Gibernau!" dan "Sete!" tidak serenyah "Armando!" untuk diucapkan, pembalap Honda itu lama-lama tidak mampu bersaing dan sering ketiban sial. Mana mungkin saya sampai hati memanggilnya dengan nama itu lagi.
Kini setelah saya kembali ke ruang yang dulu, 'kompetisi' sudah lama bubar, ia dan Wacim sempat satu indekos, bahkan ia akhirnya melepas masa lajangnya belum lama ini. Rizki Fitriani dipersuntingnya pada 10 Juni 2006 lalu. Di sisi lain, saya belum bisa membalas sepadan panggilannya yang dulu ke saya "Armando!" dan hanya memanggil "Adeee!" Namanya Ade Rian.

Real Fire, Imaginery Conversation



Materazzi (23): Uh, can you imagine, Serie A rolls on without Juventus? Huh, mammamia, what would it be?


Rui Costa (10): Umm, I have no idea. Instead, i am thinking of retirement.


Materazzi: You can retire any time, any day. But, having a season in Serie A without dealing
a match against Juventus is rarely happening, right? Umm, How is it going with those referees whose point of view lean on to Juventus, which side do they like?

Rui Costa:
Umm, I have no idea also. It's heavy....

Materazzi: What d'ya mean by heavy! Wait, I wonder that will it be your club AC Milan they preferr to stand up for.... You know, it belongs to the big boss of media network who also former prime minister....


Rui Costa: I meant, this heavy , uh, ny shoulder. Your hand has grown into my burden!

Friday, July 14, 2006

Juru Parkir

kepadamu aku juru parkir
kujagai saat kauhadir
kupandangi sebagai tabungan hati
kuikhlaskan bila kaupergi

kepadamu aku menahan diri
dari memiliki meski ruah afeksi
ada hatiku kepadamu
tidak ada hakku atasmu

J, 14 Juli 2006

Wednesday, July 12, 2006

Tipisnya Perbedaan Kemenangan dan Kekalahan

Brasil sudah kalah. Dari Prancis lagi. Namun, Ronaldinho sendiri masih punya sesuatu yang, yeah, dapat dikatakan indah dari Jerman. Ia mengumumkan pertunangannya dengan Alexandra Paressant. Si Paressant yang ini model asal Prancis. Jadi, kalaupun tim Brasil yang bersebelas itu kalah dari Prancis, Ronaldinho sendirian mampu menggocek dan membobol perempuan Prancis bernama Paressant.
Ronaldinho menang atas Paressant. Benarkah? Hmm, unlikely, in my humble opinion.
Paressant dikenal sebagai model yang royal dalam menggunakan uang. Dalam satu hari ia bisa berbelanja hingga, dalam kurs rupiah, sekitar Rp20 juta. Buat orang kebanyakan, itu jumlah yang aduhai. Buat dia dan kalangannya, mmm, mungkin tidak.
Ronaldinho, di sisi lain, pesepak bola mahal. Percayalah. Saya pun sampai tidak enak hati menyebutkan penghasilannya jika dikurs ke rupiah. Rasanya akan jadi pasangan yang pas dengan Paressant, bukan? Yang perempuan big spender, yang lelaki big bucks mine. Bersangka buruk? Perhaps, IMHO.
Suatu ketika mereka ada di hotel yang sama. Paressant mengetahui ada Ronaldinho di situ dan ia meninggalkan pesan berikut nomor teleponnya untuk si gelandang andal murah senyum itu. Ronaldinho pun menelepon Paressant dan hubungan berlanjut. You see what I meant, now? Heheh.
Namun, bagaimanapun, saya yang menggemari kinerja Ronaldinho di lapangan hijau ini mengucapkan turut berbahagia atas pertunangan Ronaldinho. Kalau ada apa-apa di antara kamu dan Paressant, Ronaldinho, saya mungkin...dengan berat hati...di kesempatan terakhir...yang tidak diharapkan...akan mengatakan, "I thought so, ...."
I told you....


9 Juli 2006

Saya tahu deh, hari ini, Minggu (9/7), kalian tidak beli Media Indonesia... Mungkin karena Kompas-minded, ya? Hari gene, ketika kebebasan pers menemukan ujiannya dengan terbuka akses informasi dan berita, masih berkeras membaca hanya satu koran? Mungkin melihat beberapa koran sekaligus dapat membuka lebih luas wawasan. Mungkin juga jadi lebih jeli membaca informasi.
Nah, untuk soal jeli-menjeli itu, berikut ini saya muatkan tulisan saya dalam rubrik Sudut Pandang di Halaman Khusus Piala Dunia 2006 Media Indonesia. Ada pendapat lain?

Aksioma Martins

KETIKA Antonio Matiasar alias Zinha mencetak gol ketiga untuk Meksiko saat menghadapi Iran dengan sundulan, Senin (11/6) lalu, saya terpana. Pemain asal klub Toluca (Meksiko) itu bagai terbang saat menyambut umpan Mario Mendez. Gol yang indah.
Zinha yang bertinggi badan 163 cm membuat saya teringat kepada Adailton Martins. Pemain Brasil itu menjadi sensasi ketika tampil dalam Piala Dunia Junior 1997 di Malaysia. Ia membukukan 10 gol dan menjadi pencetak gol terbanyak. Martin bersaing dengan David Trezeguet dan Thierry Henry (Prancis), Juan Roman Riquelme (Argentina), Michael Owen dan Jamie Carragher (Inggris), Atsushi Yanagisawa (Jepang), dan lain-lain dalam turnamen yang dijuarai Argentina itu.
Martins, kelahiran 24 Januari 1977, ketika itu terkesan berpostur ringkih. Namun, sepuluh gol yang dicetaknya jauh melampaui raihan Trezeguet (lima gol), Yanagisawa (5), Riquelme (4), Henry (3), Owen (3), Damien Duff (2), dan Carragher (1). Ia pun menjadi buah bibir dalam perhelatan di negeri jiran itu.
Dalam sebuah wawancara, berkaitan dengan kesan postur ringkih Martins, seorang wartawan bertanya, "Apakah Anda tidak gentar dengan pemain lawan yang bertubuh lebih tinggi dan lebih besar daripada Anda?" Jawaban Martins menyadarkan saya akan kenyataan yang sederhana.
"Selama permainan dilakukan di atas tanah dan bola dibawa menyusur lapangan rumput, tinggi badan tidak banyak berpengaruh. Yang berperan adalah kemampuan mengendalikan bola. Dan karena itu, saya tidak perlu khawatir sama sekali."
Sembilan tahun berlalu. Seteru Martins seperti Trezeguet, Henry, Owen, Yanagisawa, Esteban Cambiasso (Argentina), dan Stephen Appiah (Ghana) hadir di tanah Bavaria untuk memperkuat timnas senior masing-masing dalam Piala Dunia Jerman 2006. Sayangnya, Martins absen. Tampaknya, ia 'salah jalan' ketika memilih Parma (Italia) sebagai pintu pembuka kariernya di Eropa. Pada 1997-1998 Parma dihuni penyerang tajam Enrico Chiesa dan Hernan Crespo sehingga ia hanya jadi cadangan abadi. Ia kini bernaung di Verona (Italia) setelah Paris Saint-Germain tak dapat menjadi tangganya ke puncak.
Sembilan tahun kemudian, Zinha melalui Piala Dunia 2006 mengangkat kembali aksioma Martins. Zinha membuat saya memerhatikan sisi lain Piala Dunia 2006. Aksi para pesepak bola bertubuh 'mungil', di bawah rata-rata pemain peserta Piala Dunia, bahkan rekan setim sendiri.
Ternyata tidak terlalu banyak pemain yang bertinggi badan di bawah 170 cm. Selain Zinha, di Meksiko ada Andres Guardado (169 cm) dan Ramon Morales (168 cm). Argentina punya Carlos Teves (168 cm) dan Javier Saviola (169 cm). Pantai Gading diperkuat Arthur Boka (166 cm) dan Bakary Kone (163 cm), sedangkan Togo dengan Yao Junior Senaya (167 cm), dan di Prancis Vikash Dhorasoo (168 cm).
Ternyata, yang mencetak gol bukan hanya Zinha. Teves, Saviola, dan Kone juga sudah masuk daftar. Gol kesatria 'kecil' tersebut pun indah-indah pula.
Untuk partai final, Fabio Cannavaro (175 cm), Mauro Camoranesi (174 cm), dan Alessandro del Piero (173 cm) di pihak Italia serta Frank Ribery (175 cm) dan Claude Makelele (174 cm) di sisi Prancis masuk jajaran kesatria 'kecil'.
Yang menonjol tentunya Cannavaro. Bek yang dipercaya sebagai kapten Italia itu harus mematikan gerak striker lawan yang lebih tinggi daripadanya, Thierry Henry (188 cm). Seru? Tonton saja.
Yang jelas, pesepak bola Indonesia yang rata-rata berpostur mirip harus ambil pelajaran dari mereka.****