Tahukah kamu, kalau saya lagi konyol (terus terang 'konyol' di sini adalah konsep, bukan sekadar kata yang artinya bisa dilihat plek sama dengan yang di kamus. Konyol di sini bisa berarti suasana sedih, susah, senang, gembira, bingung, dll yang bikin orang lain keceplosan, "Konyol banget nih orang." Jadi, bisa meraba-raba kan maksudnya konyol itu), saya bikin puisi?
Tentulah belum—kalau tidak bisa dikatakan tidak—dapat disamakan dengan para penyair serius lainnya seperti Sapardi Djoko Damono, WS Rendra, Subagyo Sastrowardoyo, dan Joko Pinurbo. Dekat-dekat ke sana sih ada :))
Inspirasi bikin puisi dapat muncul tidak hanya dari apa yang saya rasa, tapi juga dari apa yang saya lihat pada orang lain, dengar di radio, nonton di VCD bajakan, atau menatap foto atau lukisan. Kadang kata-kata muncul begitu saja.
Sebagian puisi masih tersimpan di perangkat komputer di rumah, sebagian lagi terselip di antara kertas-kertas catatan kuliah. Sebagian yang konyolnya enggak keterlaluan saya taruh di blog yang baru saya buat khusus untuk puisi dan foto karya saya, taklagiguo.blog.com.
Kalau ada waktu, tengoklah kekonyolan-kekonyolan saya di sana. Semampu saya blog itu saya perbarui dengan puisi dan foto lain. Tak dilarang juga untuk komentar.
Wednesday, January 31, 2007
Silly
Diposting oleh
Dony
di
9:59 AM
0
komentar
Another Remains of 2006
"Jadi mulai malam ini kita mempertahankan?"
Suprianto bertanya begitu Jumat (10/11/2006) malam berkaitan dengan posisi Media Ind yang dinobatkan sebagai media berbahasa Indonesia terbaik tahun ini oleh Pusat Bahasa.
Saya mengangguk dan tertawa.
Menyenangkan sekali rasanya menjadi pihak teratas dalam sebuah bidang yang spesifik seperti ini. Apalagi juara Piala Dunia seperti Brasil dan Italia kemarin, ya. Hahaha.
Tapi, tunggu dulu. Beberapa orang menganggap Media Ind belum atau tidak pantas di peringkat pertama. Bayangkan, peringkat pertama di atas Koran Tempo yang secara tradisi dengan bayangan Tempo—majalah berslogan 'enak dibaca dan perlu'—selalu didapuk jadi rujukan berbahasa yang luwes. Atau jurnalisme sastrawi istilah kerennya.
Tidak perlulah kami heran kalau sekarang seolah tiada hari tanpa tes kecil-kecilan soal bahasa. Saya jadi ingat Yunani yang juara Eropa 2004. Siapa sangka? Lebih jauh lagi, sampai sekarang beberapa kalangan masih menganggap juara Eropa 2004 itu bukan apa-apa terutama setelah Yunani gagal menembus putaran final Piala Dunia 2006 di Jerman. Padahal Yunani juara dengan dua langkah penting, mengalahkan tuan rumah Portugal dua kali (di pertandingan pertama dan final) dan juara bertahan Prancis (di babak knock out).
Intinya, bos, kalaulah kami--tim bahasa Media Ind--tergolong medioker bila tidak bisa dibilang buruk, tetapi tim bahasa media lain lebih buruk atau tidak lebih baik daripada kami, wajarlah kami naik jadi yang pertama. Yang terbaik di antara yang buruk-buruk, begitu kasarnya.
Juga kalau ternyata tahun depan kami terdepak dari posisi pertama, itu seharusnya tidak menghapus pencapaian kami tahun ini. Sekali juara lebih baik daripada tidak pernah sama sekali, bukan?
Selain itu, tidak berkurang harapan saya bahwa posisi terhormat kali ini membawa perubahan dalam hal remunerasi bulanan teman-teman saya di tim bahasa. Buat saya, itu penting dan utama. Semoga terwujud.
Ke depannya, saya tergelitik untuk berambisi mempertahankan posisi pertama ini. Biar suara sumbang mempertanyakan kelayakan Media Ind melemah, biar kepercayaan diri teman-teman saya menebal, biar posisi tahun ini tidak dikatakan kebetulan lagi, biar….
Diposting oleh
Dony
di
8:55 AM
2
komentar
Saturday, January 13, 2007
The Remains of 2006
Il Numero Uno
Saya mendapat kabar yang bikin saya senang banget. Lebih tepat gembira, sih. Gembiraaa banget. Itu bermula pada Selasa (7/11) malam sekitar pukul 22.00 WIB ada SMS masuk ke ponsel saya. Eh, rupanya SMS sudah jadi bagian yang sulit dipisahkan dari kehidupan warga megalopolis ini, ya, sehingga berita-berita penting pun disampaikan melalui servis menyurat singkat itu. Jadi ingat curhat Marcuse tentang teknologi dan manusia.
Balik ke
Isi SMS itu?
Isi SMS dari Pak TD Asmadi, wartawan Kompas yang juga Ketua Forum Bahasa Media Massa tempat saya menjadi koordinator II bidang surat kabar, itu ucapan selamat sekaligus kabar. Selamat koran Anda masuk 'tiga besar' terbaik berbahasa
Jujur saja, saya senang mendengar kabar bahwa Media Indonesia yang tahun lalu di urutan keempat ternyata bisa naik tingkat sehingga masuk tiga besar. Karena itulah, saya memberi kabar tersebut ke Pak Ono. Tiga besar!
Saking girangnya, saya baca ulang itu SMS. Eh, kok... baru saya sadar, dituliskan urutannya dan Media Ind disebut pertama. Apakah itu berarti Media Ind juara? Saya menghubungi Pak TDA untuk konfirmasi, tetapi tidak terangkat. Jadilah saya tunggu perkembangan lain.
Rupanya, ada undangan untuk Pemred Media Ind hadir di acara penghargaan Pusat Bahasa. Terus terang saya dan teman-teman setim jadi menduga-duga ini pasti karena posisi signifikan Media Indonesia. Tahun lalu ketika 'meraih' posisi empat undangan ditujukan kepada tim bahasa, bukan pemimpin redaksi.
Akhirnya dengan 'merukyat' dan 'menghisab' SMS itu saya mengambil asumsi bahwa Media Ind menjadi yang terbaik dalam berbahasa tahun ini. Benarlah! Kamis (9/11) pukul 14.13 SMS dari Pemred tiba (tapi saya baca sore sekitar pukul 16.00 akibat 'cutinya' ponsel saya): Doni/Riko, kita juara pertama. Tempo dan Kompas, kedua dan ketiga.
Kegembiraan merebak dalam tim saya. Yang mencuat lebih dulu tentulah harapan agar tim bahasa diapresiasi, diberi 'penghargaan' (tolong dibaca sebagai 'naik gaji'). Maklum, teman-teman saya itu masih mendapat gaji yang menurut saya sudah layak untuk ditingkatkan karena selain faktor eksternal seperti inflasi, pekerjaan mereka berkaitan dengan kapasitas intelektual yang seharusnya dinilai lebih daripada sekadar memburuh.
Lucunya, di samping kegembiraan, mencuat pula keraguan dan kecurigaan. Apa benar Media Ind terbaik? Kok di rapat evaluasi masih ada kesalahan penyuntingan berderet-deret? Jangan-jangan itu karena lobi Dony ke Pusat Bahasa (padahal tim penilai gabungan ahli bahasa Pusat Bahasa, utusan wartawan, Forum Bahasa Media Massa, dll loh)? Termasuk muncul kebijakan 'pembuktian terbalik', setelah tim bahasa memberi evaluasi, di rapat yang sama hasil kerja tim dievaluasi.
Berita menjadi media berbahasa terbaik itu dimuat di halaman pertama edisi Jumat (10/11). Ada berkahnya, tentu. Selain orang-orang intern memberi selamat, kawan lama pun tiba-tiba muncul berkabar. Ada Luki, editor bahasa Seputar Indonesia yang dulunya satu tim di Media Ind. SMS-nya saya terima terlambat, sayangnya, akibat cuti ponsel itu. Terus terang saya juga mengharap kemenangan Media Ind berimbas kepada terangkatnya posisi Luki dkk di Seputar
Kembali ke topik 'berbahasa terbaik', saya ingin berterima kasih kepada rekan-rekan yang selama ini menjadi partner tim bahasa, Litbang MI--Pak Imam Anshori Saleh, Tatiek Hafidz, Desi Yasmini, Firman Firdaus, Ahmad Safari, Muhfid, Herti Kirana, Rini, Radi Negara, Shahabuddin, Merry, dan Pak Heru. Terima kasih juga kepada rekan-rekan lain yang pernah berdiskusi dan bertukar pikiran dengan saya tentang bahasa, yang tidak saya sebutkan satu per satu.
Terima kasih juga kepada teman-teman wartawan yang peduli kerapian berbahasa demi integritas diri. Kepada mereka yang tidak peduli ketika menulis berita dan artikelnya, saya doakan segera sadar dan memperbaiki diri. Kalau enggak, cape deee.
Diposting oleh
Dony
di
9:56 AM
3
komentar
Flaw on Law
Roy Marten yang kedapatan mengonsumsi sabu dihukum penjara delapan bulan. Minggu, 1 Oktober 2006 Roy Marten bebas.
Daan Dimara dihukum satu tahun delapan bulan dalam kasus yang melibatkan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin. Daan Menuduh Hamid membuat kesaksian palsu dan putusan hakim menegaskan bahwa Hamid ikut terlibat dalam rapat--dan itu menyiratkan adanya keterangan yang berpotensi sebagai kesaksian palsu.
Seorang pemuda karena malu pulang kampung dalam keadaan gagal sukses di Jakarta membuat laporan palsu bahwa ia eksekutif muda yang dirampok di taksi. Ia mengaku kehilangan telepon seluler dan uang puluhan juta. Bualannya terbongkar. Polisi mengancamnya dengan hukuman penjara tujuh tahun atas pasal membuat laporan palsu.
@Saya ingin naif dengan mengatakan ada yang berlebihan dalam menyikapi hukum. Atau memang ada yang pandang bulu dalam memutuskan hukuman?
Kasihan pemuda itu. Daripada dia bikin laporan palsu dan diancam hukuman penjara tujuh tahun, mungkin lebih baik waktu itu dia jualan sabu untuk ongkos pulang kampung. Selain dapat duit banyak, penjual sabu di Jakarta dalam kenyataannya tidak diancam hukuman seberat tujuh tahun. Soalnya, kan, ada duit lebih buat bayar pengacara yang akan membelanya untuk dapat hukuman ringan--kalau tidak bisa bebas murni....
Diposting oleh
Dony
di
9:31 AM
0
komentar